Wali-wali Majdzub oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si

Adapun pada diri seorang wali memiliki karamah. Namun kekuatan karamah tidak menjadikan diri seorang wali terbebas dari hukum Agama. Karena datangnya karamah dari Allah. Sebagaimana Ali Hujwiri (w. 464 H) menjelaskan bahwa karamah bisa dianugerahkan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar kewajiban hukum agama. Kedua golongan kaum muslim sepakat mengenai hal ini, juga secara akal tidak mungkin, karena karamah semacam itu sudah ditakdirkan oleh Allah, dan pengejawantahanya tidak bertentangan dengan prinsip hukum agama, dan di lain pihak juga sulit bagi pikiran untuk memahaminya sebagai satu genus (kelas) (Hujwiri, 1992: 214).

Namun di dalam sufi ada istilah wali madjzub. Tradisi wali-wali majdzub ada pada tradisi tarekat malamati. Mereka adalah orang-orang suci yang dengan sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan menyembunyikan hakikat capaian spiritual mereka (Nashr, 2003: 331). Melalui ta’rif tersebut penulis berpandangan bahwa wali-wali majdzub merupakan seorang wali yang tidak diketahui maqamat dan ahwal yang telah dicapainya kecuali ia sendiri. Wali-wali majdzub secara zahir seperti orang yang menjauhi syariat akan tetapi mereka begitu dekat dengan Allah secara sembunyi-sembunyi. Kekhusyukan pada diri wali majdzub hanya didapat ketika sendirian. Karena ia tidak ingin timbul riya’ dan ujub dalam ibadah.

Adapun sosok wali madjzub itu adalah Khidir. Abu Qasim al-Qusyairi berpendapat bahwa Khidir itu bukan nabi melainkan seorang wali (al-Asqalani, 2015: 20). Pendapatnya didukung oleh latar belakang histori bahwa Khidir mengajarkan ilmu hikmah kepada Nabi Musa a.s. Perbuatan dan perkataannya dikendalikan Allah swt seperti melubangi perahu yang dinaikinya bersama Nabi Musa as., membunuh seorang anak yang masih suci, menegakkan dinding rumah yang hampir roboh. Sebagaimana Firman Allah swt di dalam al-Quran, “Dan aku tiada melakukannya menurut kemamuanku sendiri.” (QS. Al-Kahfi/ 18:82)

Wali majdzub lainnya adalah Abu Hafs al-Haddad al-Malamati (w. 204 H). Ia mengajarkan pada orang-orang mencari makan dengan cara meminta-minta, tidak dari harta dan usaha sendiri. Semua harta bendanya untuk sedekah, sementara untuk memperoleh makanan harus meminta-minta. Untuk mengekang hawa nafsu, manusia harus menempuh usaha paling berat (Masyhuri, 2011: 122)

            Sampai era modern ini wali majdzub masih ada. Akan tetapi wali tersebut bukanlah untuk dimintai pendapat untuk masalah hukum agama akan tetapi ia hanya untuk diziarahi dengan niat mengambil keberkahan. Wawlahu a’lam.

oleh Sayyid Muhammad Yusuf Aidid, S.Pd, M.Si ( website yusufaidid.com ) Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan PNJ

Leave a reply

Enable Notifications OK No thanks